Sejarah Ditemukannya Kopi

Kambing-kambing yang digembala Kaldi sore itu bertingkah aneh, tidak biasanya. Kawanan itu melonjak-lonjak tak bisa tenang, penuh gairah; Bersahut-sahutan mengembik seperti kegirangan.

Sudah bertahun-tahun Kaldi menggembala kambing. Tiap pagi, digiringnya kambing-kambingnya menjelajahi pinggiran hutan Kaffa, dataran tinggi Abissinia (kini Ethiopia). Baru kali ini dilihatnya kawanan kambing itu menari-nari seperti kelebihan semangat dan energi. Sebagai penggembala berpengalaman, yang mula-mula dicurigainya adalah: apa yang baru saja mereka makan? Ia bergegas menyelidiki.

Di antara semak dan perdu di pinggiran hutan, didapatinya butir-butir buah merah memenuhi tangkai-tangkai yang menjuntai, menyeruak di antara hijau-tua dedaunan. Indah. Mengundang selera. Di sana-sini tampak bekas petikan dan gigitan. Jelas sekali, buah-buah mungil merah itulah yang baru diramban kambing-kambingnya.

Merahnya ranum menggoda, ia pun memetik dan mencicipi sebutir di antaranya.

Kulitnya lunak, sepat semu-semu manis. Buahnya berupa biji keras, tapi tetap dikunyahnya. Pahit, namun pahitnya malah mendorongnya memakan sekaligus beberapa.

Sebentar kemudian, dadanya berdebar. Rasanya seperti menunggu tibanya sesuatu yang lama ia damba, yang ia tahu pasti-datangnya. Rasanya seperti lega setelah terbebas dari sekian lama terbelenggu kecewa. Bahagia. Juga, bertenaga.

Pantas saja kambing-kambingnya hari ini bertingkah bagai orang-orang dalam pesta. Buah-buah mungil merah ini pastilah buah surga. Dipetiknya sebanyak yang bisa dia bawa. Ia berniat mendatangi biara di lembah dekat Danau Tana, tanpa peduli berapa hari pun jauhnya dari Kaffa. Para biarawan di sana mestinya tahu, buah apa itu sebenarnya.

“Ini buah setan!” ujar tetua biara sembari membuang buah-buah merah pemberian Kaldi ke perapian. Seketika, harum semerbak buah ajaib yang terpanggang memenuhi biara. Biarawan lain berdatangan mengerumuni perapian, mencari tahu sumber aroma. Biji-biji terbakar itu segera mereka pisahkan dari api, dan mereka pukul-pukuli agar padam baranya. Tetua biara menyuruh mereka menyimpan serpihan biji-biji hangus itu ke dalam tempayan, dan menuanginya air panas supaya wangi aromanya terjaga tanpa menghancurkannya. Itulah kopi seduh pertama di dunia, yang tanpa sengaja tercipta pada abad ke-8, tahun 750-an masehi, di Ethiopia.

Itulah kopi seduh pertama di dunia, yang tanpa sengaja tercipta pada abad ke-8, tahun 750-an masehi, di Ethiopia.

Tergoda oleh kuatnya aroma yang menguar dari tempayan, para biarawan meminumnya. Ibadah-malam mereka tak pernah lagi terganggu kantuk, sejak mereka mengenal biji-biji kopi pemberian Kaldi: temuan kambing-kambingnya.

Kisah Kaldi dan kambing-kambingnya, dengan beberapa versi cerita, dituturkan turun-temurun dan menjadi dongeng rakyat di Ethiopia. Tuturan itu pertama kali didokumentasikan pada 1671 oleh seorang Kristen Maronit Lebanon, Antoine Faustus Nairon, dalam bukunya, De Saluberrima potione Cahue seu Cafe nuncupata Discursus. Namun, Weinberg dan Bealer, penulis The World of Caffeine: The Science and Culture of the World’s Most Popular Drug (2001), menganggap kisah itu mitos belaka karena tak ada sumber-sumber Arab terdahulu yang pernah memuatnya. Maka, kata Weinberg dan Bealer, “… sangat mungkin dongeng itu berasal dari khayalan penulisan Nairon akibat dorongan kafeina, dan kemudian menyebar luas karena dianggap menarik oleh para penggemar kopi Eropa paling mula.”

Weinberg dan Bealer tampaknya juga mengkhayal saat menuduh Nairon mengarang cerita Kaldi—mungkin akibat keduanya kekurangan kafeina. Seorang fotografer wisata dari Jerman, Jochen Weber, suatu kali mengunjungi Ethiopia dan mewawancarai seorang tokoh kampung di sana, Abba Giddi. Wawancaranya memang tidak membuktikan faktual-tidaknya kisah Kaldi, tetapi bisa jadi menegaskan bahwa Nairon tidak mengarang dongeng itu.

“Bukan, bukan, ini bukan cuma legenda,” kata Abba Giddi bersungguh-sungguh meyakinkan Weber tentang kebenaran cerita Kaldi yang baru saja dituturkannya, “ini sejarah Ethiopia, turun-temurun dari generasi ke generasi!”

Namun, Weinberg dan Bealer agaknya tidak salah menyatakan bahwa para penggemar kopi Eropa sangat menyukai kisah Kaldi. Salah satu buktinya bisa jadi adalah menjamurnya industri kopi yang sampai hari-hari ini menggunakan “Kaldi” sebagai merek usaha.

Benar-tidaknya kisah Kaldi tampak tidak penting bagi para pelaku bisnis kopi dan konsumen mereka. Toh yang penting ada cerita, romantika, yang bisa dibubuhkan pada tiap seduhan, yang akan ikut tertuang dalam tiap cangkir yang disajikan: berharap menambah sedap tiap seruputnya.

Dan cerita itu tak harus berupa Kaldi atau kambingnya.

Tinggalkan komentar